Friday, 7 August 2015

Pelaku Usaha Kayu Belum Maksimal Terapkan SVLK. Apa Kendalanya?

Logo
http://www.mongabay.co.id/2015/08/07/pelaku-usaha-kayu-belum-maksimal-terapkan-svlk-apa-kendalanya/
by Petrus Riski

Pengerjaan produk kursi dari bahan kayu jati untuk pasar ekspor. Foto: Petrus Riski
Pengerjaan produk kursi dari bahan kayu jati untuk pasar ekspor. Foto: Petrus Riski

Pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) belum bisa dijalankan secara optimal oleh pelaku usaha perkayuan di Indonesia. Mahalnya biaya pengurusan sertifikasi dan kurangnya sosialisasi membuat pelaku usaha terutama kelas menengah ke bawah merasa belum perlu menerapkan SVLK.
Bambang Mardi Priyono, Foresty Specialis Hadfield Indonesia, lembaga konsultan yang ditunjuk menyusun Desain Monitoring Dampak Implementasi SVLK, menuturkan pemantauan dampak implementasi SVLK dilakukan untuk mengetahui dampak negatif dan positif pelaksanaan SVLK sejak 2009 lalu.
Monitoring ini terkait kesiapan pelaku usaha perkayuan di Indonesia yang hendak mengekspor hasil kayunya demi memenuhi permintaan pasar dunia. Masih banyaknya industri kecil menengah yang belum memenuhi persyaratan SVLK menjadi alasan pemantauan ini dilakukan. “Ada beberapa pihak yang menyatakan implementasi SVLK justru menambah biaya dan persoalan. Kalau ini benar harus dicarikan solusinya,” ujar Bambang di Surabaya, Selasa (4/8/15).
Selama ini, pelaku usaha perkayuan, menganggap SVLK belum menjadi syarat ekspor kayu ke Eropa. “Padahal, masyarakat Eropa memberi tekanan tinggi pada pemerintahnya agar hanya menerima kayu yang legal saja. Ini harus diperhatikan pengusaha kita,” lanjut Bambang.
Kepala Bidang Bina Produksi Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Maryono menegaskan, kebutuhan pengusaha kayu akan SVLK merupakan tuntutan pasar yang ditunjang peraturan pemerintah.
Maryono mengakui, selama ini baru industri besar yang memiliki akses untuk memperoleh sertifikasi SVLK bagi usahanya secara mudah. Sementara industri kecil menengah maupun kelompok dan perorangan masih terbatas. “Pemerintah provinsi mendukung dengan dana pancingan untuk mengurus sertifikasi dan kami juga melakukan sosialisasi.”
Ekspor kayu dari Jawa Timur ke Eropa dan Amerika, menurut Maryono, tergolong besar karena potensi kayu dan desain produknya disukai pasar luar negeri. “Kedepannya kami berharap tidak ada lagi kayu ilegal yang dipakai untuk usaha,” paparnya.

Kayu jati gelondongan yang berada di tempat pemotongan kayu di Bantul, Yogyakarta. Foto: Petrus Riski
Kayu jati gelondongan yang berada di tempat pemotongan kayu di Bantul, Yogyakarta. Foto: Petrus Riski

Minimnya implementasi SVLK di Jawa Timur diakui Muhammad Ichwan, aktivis lingkungan dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan. Hasil monitoring yang dilakukannya dalam sebulan terakhir, menunjukkan adanya kayu log asal luar Jawa yang tidak memiliki V-Legal seperti yang disyaratkan dalam SVLK.
“Peredaran kayu log antar pulau harusnya ada pembukuan, di-barcode, atau harus ada dokumen V-Legal yang menyertai. Pantau selama 10 yang kami lakukan di pelabuhan Gresik, Surabaya, tidak ada satu pun kayu log yang dibubuhkan V-Legal atau barcodeV-Legal. Artinya belum tentu kayu-kayu yang masuk ke Surabaya itu legal,” kata Ichwan.
Selain belum adanya tanda V-Legal, menurut Ichwan, banyak industri kehutanan baik primer, lanjutan, maupun industri kecil dan besar terindikasi melakukan pelanggaran dengan titip bendera ekspor. “Ini tidak boleh dilakukan. Kami beberapa kali menemukan pelanggaran berkaitan dengan persyaratan SVLK,” imbuhnya.
Ichwan menilai SVLK merupakan sistem yang sangat membantu dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dengan mencegah perusahaan menebang jayu hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan SVLK. “Sistemnya sudah bagus, hanya pelaksanaannya yang mesti dikawal.”
Pentingnya memiliki SVLK sebagai garansi produk kayu diterima di pasar Eropa diakui Rumekso Setyadi, Pemilik Usaha Mebel Kayu Jati Enclave Craft, Bantul, Yogyakarta. Menurutnya, keberadaan SVLK sudah menjadi syarat mutlak pasar mebel dunia, demi memastikan kayu yang dipakai itu legal.
“Kalau ada purchasing order dari buyer Eropa, mereka selalu mencantumkan wood declaration. Berdasarkan regulasi, setiap barang yang ada kayunya harus menggunakan SVLK, ini alasan mengapa kami mengurus SVLK,” tuturnya.
Menurut Rumekso, keuntungannya yang diperoleh dari sistem ini diantaranya adalah manajemen bahan baku lebih tertib dan sistematis, serta barang yang dijual mempunya nilai lebih karena kayu yang digunakan legal dan bersertifikat. “Ini merupakan salah satu pertimbangan buyer, karena SVLK biasanya selalu ditanyakan,” tandasnya.

Rain Water Harvesting

https://www.facebook.com/Rain.Water.Harvesting.Benefits



Harvesting System:

Broadly rainwater can be harvested for two purposes:
  • Storing rainwater for ready use in containers above or below ground
  • Charged into the soil for withdrawal later (groundwater recharging)


Source: A Water Harvesting Manual For Urban Areas

From where to harvest rain

Rainwater harvesting can be harvested from the following surfaces:
Rooftops: 
If buildings with impervious roofs are already in place, the catchment area is effectively available free of charge and they provide a supply at the point of consumption.

Paved and unpaved areas 
i.e., landscapes, open fields, parks, stormwater drains, roads and pavements and other open areas can be effectively used to harvest the runoff. The main advantage in using ground as collecting surface is that water can be collected from a larger area. This is particularly advantageous in areas of low rainfall.

Waterbodies: 
The potential of lakes, tanks and ponds to store rainwater is immense. The harvested rainwater can not only be used to meet water requirements of the city, it also recharges groundwater aquifers.

Stormwater drains: 
Most of the residential colonies have proper network of stormwater drains. If maintained neatly, these offer a simple and cost effective means for harvesting rainwater.

Whether to store rainwater or use it for recharge:
The decision whether to store or recharge water depends on the rainfall pattern and the potential to do so, in a particular region. 
The sub-surface geology also plays an important role in making this decision.
For example, Delhi, Rajasthan and Gujarat where the total annual rainfall occurs during 3 or 4 months, are examples of places where groundwater recharge is usually practiced. In places like Kerala, Mizoram, Tamil Nadu and Bangalore where rain falls throughout the year barring a few dry periods, one can depend on a small sized tank for storing rainwater, since the period between two spells of rain is short. Wherever sub-strata is impermeable recharging will not be feasible. Hence, it would be ideal to opt for storage.

Source: A Water Harvesting Manual For Urban Areas
In places where the groundwater is saline or not of potable standards, the alternate system could be that of storing rainwater.

Beyond generalisations, it is the requirement that governs the choice of water harvesting technique. For example, in Ahemadabad, which has limited number of rainy days as that of Delhi, traditional rainwater harvesting tanks, known as tankas, are used to store rainwater even today in residential areas, temples and hotels.

Like " Rain Water Harvesting" to receive all new similar updates. Plz don't do so if u have already liked " Rain Water Harvesting" as doing it again goes for unlike